AF windbreak

AF windbreak

Senin, 12 September 2011

“KESETARAAN GENDER DALAM PEMBAGUNAN KEHUTANAN SOSIAL”


ABSTRAK
Pria dan Wanita memiliki perbedaan tanggung jawab di dalam kehidupan, keluarga, rumah tangga dan masyarakat. Keduanya memiliki perbedaan sudut pandang untuk mengelola dan memiliki kesempatan berpartisipasi di dalam pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumber daya alam.
Kehutanan sosial merupakan salah satu program pemerintah yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan serta melindungi kelestarian lingkungan. Program ini juga bertujuan untuk mempopulerkan pengelolaan hutan serta melindungi daerah resapan air dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa hutan. Pria masih mendominasi di dalam proyek-proyek pembangunan di bidang kehutanan. Hal ini berarti bahwa wanita masih kurang mendapatkan manfaat dari pembangunan kehutanan.
Kata kunci : Kehutanan Sosial, Partisipasi perempuan

I. PENDAHULUAN

            Pada hakekatnya manusia diciptakan menjadi perempuan dan laki-laki.  Keduanya diciptakan agar bisa saling melengkapi guna membangun suatu kekuatan (sinergi) baru yang lebih kuat dan bermanfaat bagi umat manusia.  Namun dalam perkembangannya, dirasakan telah terjadi dominasi oleh satu pihak terhadap pihak yang lainnya, sehingga menimbulkan diskriminasi, marjinalisasi, subordinasi, beban ganda, ataupun tindak kekerasan. 
            Jenis kelamin merupakan sifat biologis bawaan yang tidak bisa diubah. Dimanapun ia, ciri tersebut tidak akan berubah. Seorang dikatakan perempuan bila ia memiliki rahim, vagina dan payudara, sedangkan dikatakan laki-laki bila ia memiliki buah zakar, penis dan sperma. Berdasarkan sifat biologis tersebut kemudian dibangunlah asumsi, perilaku sosial, dan pranata yang berlaku di masyarakat.
            Berdasarkan Inpres terakhir disebutkan bahwa gender merupakan konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat. Sedangkan kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan dan keamanan nasional dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut.  Dengan definisi tersebut maka perempuan, selain juga laki-laki, diharapkan dapat ikut serta secara aktif berkiprah dalam pembangunan sesuai dengan kemampuannya, jadi bukan berarti memberikan pengecualian ataupun kuota, khususnya pada perempuan.  Strategi yang harus ditempuh agar kebijakan pembangunan nasional responsif gender adalah melalui pengarusutamaan gender. Oleh karena itu, melalui Inpres No. 9 tahun 2000, ditegaskan strategi pengarusutamaan gender sebagai salah satu strategi pembangunan nasional.

I.1 Latar belakang konsep kehutanan sosial
Sumber daya hutan di Indonesia saat ini dalam kondisi yang rusak.  Kerusakan ini disebabkan oleh banyak hal. Beberapa diantaranya adalah adanya over ekplorasi untuk memenuhi kebutuhan industri kehutanan, konversi lahan hutan menjadi lahan non hutan (misalnya perkebunan, transmigrasi, jalan raya), timber ekstraksion yang merupakan tujuan utama dalam pengelolaan hutan yang selama ini dilakukan, adanya illegal logging dan kebakaran hutan, penegakan hukum yang lemah, pemberian fasilitas konsesi hutan kepada sekelompok kecil kroni, korupsi dan inefisiensi peraturan pemerintah dalam proses pengusahaan hutan.
Beberapa hal tersebut di atas, ditambah dengan kegiatan pengelolaan hutan yang lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi telah menyebabkan termarginalisasinya masyarakat yang hidup di sekitar hutan. Konsep trickle down effect atau pertumbuhan untuk pemerataan terbukti tidak mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebagai akibatnya adalah timbulnya kesenjangan kesejahteraan antara masyarakat, khususnya mereka yang tinggal di sekitar areal hutan, dengan para pekerja dan pengusaha di bidang kehutanan. Adanya program (proyek) pembangunan kehutanan dengan pendekatan kehutanan sosial yang berorientasi pada pelestarian hutan, diharapkan pada gilirannya nanti akan memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan.
Seperti halnya proyek-proyek kehutanan lainnya, partisipasi perempuan adalah sangat kurang, padahal kalau kita lihat sekarang pendidikan formal yang dilakukan di berbagai perguruan tinggi ternyata rimbawati cukup banyak, bahkan >50% dari jumlah forester. Berangkat dari hal tersebut, diperlukan upaya agar peran perempuan dalam kehutanan sosial dapat lebih efektif dilakukan. Dimulai dengan apa yang dimaksud dengan batasan kehutanan sosial menurut beberapa ahli, gender dan peran domestik yang merupakan stereotipe bagi perempuan, dan terakhir bagaimana perempuan dapat berperan dalam proyek kehutanan sosial.
I.2 Tujuan
Adapun tujuan dari pembahsn gender dalam pembangunan di bidang kehutanan yaitu untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender, melalui kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam seluruh kebijakan di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan terutama di bidang kehutanan.

II. SOCIAL FORESTRY (KEHUTANAN SOSIAL)

Kehutanan sosial adalah sesuatu ketika hutan, lahan hutan, dan produksi (yang berasal dari hutan) dikelola oleh masyarakat lokal (yaitu masyarakat yang hidup di sekitar atau masyarakat yang mempunyai perhatian penuh pada hutan) dimana dalam partisipasinya tersebut mereka memperoleh keuntungan. Dalam pengertian lain yaitu suatu strategi yang difokuskan pada pemecahan masalah penduduk lokal disamping mengelola lingkungan wilayah. Oleh karena itu hasil utama dari kehutanan sosial tidak hanya kayu, namun hutan dapat diarahkan untuk memproduksi beragam komoditas sesuai dengan kebutuhan masyarakat di wilayah tersebut, termasuk kayu bakar, bahan makanan, pakan ternak, buah-buahan, air, hewan, alam, keindahan, perburuan dan sebagainya;
           Kehutanan sosial secara mendasar ditujukan kepada peningkatan produktivitas, pemerataan dan kelestarian dalam pembangunan sumberdaya hutan dan sumberdaya alam melalui partisipasi aktif masyarakat. Paradigma kehutanan sosial memiliki nilai-nilai esensial dalam pembangunan kehutanan, yaitu memposisikan rakyat/ masyarakat untuk mengelola dan turut berpartisipasi dalam mempertahankan biodiversitas.

Kegiatan kehutanan sosial mempunyai variant (dapat dikategorikan) ke dalam 4 (empat) kelompok besar (Anonim, 2002a), yaitu:
(1) Farm forestry;
(2) Community forestry;
(3) Extension forestry; dan
(4) Agro-forestry.

Farm forestry
Di Indonesia istilah farm forestry dikenal sebagai hutan rakyat. Hutan rakyat adalah hutan yang tidak berada di atas lahan yang dikuasai oleh pemerintah, jadi hutan rakyat merupakan hutan yang dimiliki oleh rakyat.
Community forestry
Di Indonesia, istilah community forestry diartikan sebagai hutan kemasyarakatan. Konsep hutan kemasyarakatan secara tegas menegasikan praktek-praktek pengelolaan hutan yang berbasis negara (sentralistik, seragam, komersial, anti ekologi, dan anti rakyat).
Extension forestry
Ekstensifikasi hutan adalah penanaman tanaman keras (pohon) pada sisi jalan raya, canal (terusan) dan di sisi jalan kereta api, sepanjang tidak mengganggu dan dilakukan di tanah yang tersisa (kosong).
Agro-forestry
Sistem ini mengkombinasikan antara produksi tanaman pertanian (termasuk tanaman pohon-pohonan) dan tanaman hutan dan/ atau hewan secara bersamaan atau berurutan pada unit lahan yang sama. Cara-cara yang diterapkan untuk pengelolaan lahan merupakan cara/ sistem yang sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat.

III. PERAN PEREMPUAN DI BIDANG KEHUTANAN :
1. Equality yaitu memperkuat akses dan peran perempuan pada sumber daya hutan.
2. Equity yaitu meningkatkan sensivitas perempuan pada bermacam-macam peran dalam  manajemen hutan, memenuhi kebutuhan masyarakat dari sisi peran gender.
3. Efficacy yaitu mengidentifikasi dan menggunakan pengetahuan perempuan tentang kehutanan
4. Empowerment yaitu melibatkan perempuan secara aktif dalam pengembangan perhutanan sosial.
Kembali pada bagian awal, pembedaan antara laki-laki dan perempuan dalam peranperan, penguasaan dan akses terhadap sumber daya alam, hak dan posisi, ternyata mengakibatkan ketidakadilan gender. Lebih lanjut dinyatakan ada lima bentuk ketidak adilan gender dalam hubungannya dengan sumberdaya alam, yaitu:
(1) Marjinalisasi (peminggiran) ekonomi, salah satu yang terlihat nyata adalah lemahnya kesempatan perempuan terhadap sumber-sumber ekonomi seperti tanah, kredit dan pasar;
(2) Subordinasi (penomorduaan), subordinasi perempuan ini berkaitan erat dengan masalah penguasaan terhadap sumber daya alam. Sejarah membuktikan, pemilik, atau penguasa sumber daya alam cenderung memiliki kekuasaan lebih besar dan membawahi serta berhak memerintah kelompok-kelompok tidak bermilik, termasuk perempuan. Bentuk lain dari subordinasi perempuan juga terdapat pada hak waris. Banyak budaya tidak memberikan hak waris apapun pada perempuan karena perempuan dianggap akan masuk ke dalam keluarga suaminya ketika menikah;
(3) Beban kerja berlebih, pada umumnya perempuan memiliki tiga peran (triple role) yaitu produktif, reproduktif dan memelihara (anak) yang lebih dominan. Yang dapat dilihat langsung adalah jam tidur perempuan lebih pendek dibanding lakilaki, waktu istirahat hampir tidak ada. Akibatnya perempuan tidak memiliki waktu untuk membicarakan hal-hal diluar rutinitasnya seperti membaca koran, mendengarkan informasi, atau hadir dalam pertemuan-pertemuan masyarakat;
(4) Cap-cap negatif (stereotype), maksudnya adalah perempuan sering digambarkan pada bentuk-bentuk tertentu yang belum tentu benar, seperti emosional, lemah, tidak mampu memimpin, tidak rasional dan lain-lain.
(5) Kekerasan, kekerasan berbasis gender didefinisikan sebagai kekerasan terhadap perempuan. Pada konflik sumber daya alam kekerasan terhadap perempuan seringkali meningkat baik itu yang dilakukan oleh aparat (militer atau sipil) serta pihak-pihak investor maupun juga terjadi di ruang-ruang keluarga, oleh suami, tetangga atau saudara.

IV. KESIMPULAN
Kehutanan sosial dengan berbagai variant  penyelenggaraannya akan dapat menjadi program unggulan kehutanan karena akan membawa implikasi tumbuhnya sikap tanggungjawab masyarakat disamping masyarakat juga dapat memperoleh keuntungan dan manfaat langsung dari keterlibatan dalam pengelolaan hutan. Dalam kehutanan sosial, kemungkinan pengikutsertaan perempuan secara aktif adalah terbuka lebar. Perempuan dapat diikutsertakan tidak hanya pada saat pelaksanaan proyek tetapi dapat pula diikutsertakan sejak awal perencanaan proyek dibuat dan termasuk kontrol terhadap proyek kehutanan sosial.

Pengertian & perbedaan mengenai Sosial Forestry, Hutan Rakyat (Farm Forestry), Hutan Kemasyarakatan (Communal Forestry), Agroforestry, Ekstensifikasi forestry, PHBM, dan Tumpangsari.

SOSIAL FORESTRY
Social Forestry  atau Perhutanan Sosial merupakan  Strategi pengelolaan hutan atau dapat  didefinisikan  sistem  pengelolaan  hutan  dimana masyarakat  lokal  berpartisipasi  aktif  didalamnya untuk mensejahterakan mereka dan sekaligus melestarikan atau memperbaiki hutan di sekelilingnya. Dalam  program  Social  Forestry  ini,  masyarakat  akan  dilibatkan  dalam pengelolaan hutan dari perencanaan, pemanfaatan, dan pemasarannya. Masyarakat juga  diberi  hak  untuk mengelola  kawasan  hutan  dengan  batasan-batasan  tertentu. Menurut versi Departemen Kehutanan, Social Forestry meliputi 3 aspek, yaitu aspek kelola kawasan, kelola kelembagaan dan kelola usaha/bisnis. Adanya aspek kelola kelembagaan  menunjukkan  bahwa  kelembagaan  merupakan  salah  satu  kunci penting  keberhasilan  pengelolaan  hutan.    

Ciri-ciri SF :
1. Merubah monokultur menjadi polikultur
2. Karena monokultur maka mempunyai daur ganda
3. Intensif (petak sebagai unit managemen)
4. Partisipasi masyarakat. Menempatkan masyarakat sebagai mitra sejajar (abad 20) dan tahun    1994 muncul stakeholders (para pihak yang berkentingan)
5. Pengelola hutan tidak hanya pemerintah tetapi para pihak (multi stake holders). Oleh karena itu maka pelaksanaan SF menjadi rumit karena banyak komando. Merangkul para stakeholders dan merumuskan perencanaan merupakan tantangan untuk mewujudkan SF
6. Perubahan perencanaan (perencanaan artikulatif)

Kegiatan kehutanan sosial mempunyai variant (dapat dikategorikan) ke dalam 4 (empat) kelompok besar (Anonim, 2002a), yaitu:
(1) Farm forestry;
(2) Community forestry;
(3) Agro-forestry. dan
(4) Extension forestry;

HUTAN RAKYAT (Farm Forestry)

Di Indonesia istilah farm forestry dikenal sebagai hutan rakyat. Hutan rakyat adalah hutan yang tidak berada di atas lahan yang dikuasai oleh pemerintah, jadi hutan rakyat merupakan hutan yang dimiliki oleh rakyat (Hardjosoediro, 1980 dalam PKHR, 1999). Menurut Undang-undang no 5 tahun 1967 tentang kehutanan, pengertian hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya, dengan ketentuan luas minimum 0,25 hektar dan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan lebih dari 50 persen atau minimal jumlah pohonnya 500 batang setiap hektarnya. Sedangkan menurut Undang-undang no 41 tahun 1999, pengertian hutan rakyat ini hanya disebutkan sebagai hutan hak, yang membedakannya dengan hutan negara. Berdasarkan pengertian yang dikemukakan, hutan rakyat mempunyai ciri khas:
a)      Berada di tanah milik yang dijadikan hutan dengan alasan tertentu, seperti lahan yang kurang subur, kondisi topografi yang sulit, tenaga kerja yang terbatas, kemudahan pemeliharaan, faktor resiko kegagalan yang kecil dan lain sebagainya.
b)      Hutan tidak mengelompok, tetapi tersebar berdasarkan letak dan luas kepemilikan lahan, serta keragaman pola wanatani.
c)      Basis pengelolaan berada pada tingkat keluarga, setiap keluarga melakukan pengembangan dan pengaturan secara terpisah.
d)     Pemanenan dilakukan berdasarkan sistem tebang butuh, sehingga konsep kelestarian hasil belum berdasarkan kontinuitas hasil yang dapat di peroleh dari perhitungan pemanenan yang sebanding dengan pertumbuhan (riap) tanaman.
e)      Belum terbentuk organisasi yang profesional untuk melakukan pengelolaan hutan rakyat.
f)          Belum ada perencanaan pengelolaan hutan rakyat, sehingga tidak ada petani hutan rakyat yang berani memberikan jaminan terhadap kontinuitas pasokan kayu bagi industri.
g)      Mekanisme perdagangan kayu rakyat di luar kendali petani hutan rakyat sebagai produsen, sehingga keuntungan terbesar dari pengelolaan hutan tidak dirasakan petani hutan rakyat.
h)      Karakter-karakter tersebut sangat mengisyaratkan rentannya kelestarian hutan rakyat akibat adanya peningkatan kebutuhan industri berbasis kehutanan, terutama bahan baku kayu. Hal ini diperparah dengan menurunnya produktivitas kayu dari hutan negara yang disebabkan oleh penebangan liar dan kegagalan pembuatan tanaman. 
i)           Diperlukan upaya intervensi bagi penyelamatan hutan rakyat dari penurunan kualitas dan kuantitas yang lebih jauh akan membawa dampak negatif bagi kualitas ekologi dan ekonomi regional. Di sisi selanjutnya, sejumlah industri berbasis kayu rakyat yang menampung ribuan tenaga kerja juga akan mengalami dampak ikutan (collateral damage). Pengembangan kemampuan manajerial dalam pengelolaan hutan rakyat harus ditumbuhkembangkan untuk memberikan kepastian kelestarian pasokan kayu untuk industri dan kepastian kontinuitas pendapatan petani hutan rakyat.
Pertanian Oleh Petani Untuk Pertanian

HUTAN KEMASYARAKATAN (Community forestry)
Hutan Kemasyarakatan (HKM) / Community forestry. Adalah adalah hutan rakyat yang dibangun di atas lahan-lahan milik negara, khususnya di atas kawasan hutan negara. Dalam hal ini, hak pengelolaan atas bidang kawasan hutan itu diberikan kepada sekelompok warga masyarakat; biasanya berbentuk kelompok tani hutan atau koperasi.  sebuah “proses” perubahan yang mengarah kepada keterlibatan masyarakat yang lebih luas dalam pengelolaan hutan. Sebagai sebuah “proses”, maka konsep HKM ini juga tidak memiliki sebuah sistem atau definisi yang baku, tetapi berkembang sesuai dengan kebutuhan, kondisi masyarakat dan sistem sosial ekonomi, serta kesepakatan-kesepakatan diantara pihak-pihak yang terlibat. Oleh sebab itu, adalah sah-sah saja terjadi perbedaan dalam pola pelaksanaannya di berbagai daerah sesuai dengan evolusi sistem sosial, ekonomi dan politik setempat. Sebagai contoh, Nepal harus melalui berbagi proses dan tahapan HKM sebelum sampai pada sistem yang ada sekarang. Sistem sekarangpun sedang dalam proses perubahan untuk mengakomodasi berbagai perubahan sistem sosial ekonomi masyarakat.
AGROFORESTRY
Agroforestry  merupakan Teknik bercocok tanam  sebagai salah satu bentuk multiple cropping yang banyak dikembangkan, terutama di daerah-daerah up-land dan di sekitar kawasan hutan. Lundgren dan Raintree (1982), dalam Hairiah et al. (2003) mengajukan ringkasan definisi agroforestry dengan rumusan sebagai berikut:
Agroforestry adalah istilah kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi-teknologi penggunaan lahan, yang secara terencana dilaksanakan pada satu unit lahan dengan mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem, bambu dan lain-lain) dengan tanaman pertanian dan/atau hewan (ternak) dan/atau ikan, yang dilakukan pada waktu yang bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada.
Dari definisi di atas, agroforestry merupakan suatu istilah baru dari praktek-praktek pemanfaatan lahan tradisional yang memiliki unsur-unsur yakni (a) penggunaan lahan atau sistem penggunaan lahan oleh manusia; (b) penerapan teknologi; (c) komponen tanaman semusim, tanaman tahunan dan/atau ternak atau hewan; (d) waktu bisa bersamaan atau bergiliran dalam suatu periode tertentu dan (e) ada interaksi ekologi, sosial dan ekonomi.
Beberapa ciri penting agroforestry yang dikemukakan oleh Lundgren dan Raintree (1982) adalah:
a.      Agroforestry biasanya tersusun dari dua jenis tanaman atau lebih (tanaman dan/atau hewan).  Paling tidak satu di antaranya tumbuhan berkayu.
b.      Siklus sistem agroforestry selalu lebih dari satu tahun.
c.      Ada interaksi (ekonomi dan ekologi) antara tanaman berkayu dengan tanaman tidak berkayu.
d.     Selalu memiliki dua macam produk atau lebih (multi product), misalnya pakan ternak, kayu bakar, buah-buahan, obat-obatan.
e.      Minimal mempunyai satu fungsi pelayanan jasa (service function), misalnya pelindung angin, penaung, penyubur tanah, peneduh sehingga dijadikan pusat berkumpulnya keluarga/masyarakat.
f.       Untuk sistem pertanian masukan rendah di daerah tropis, agroforestry tergantung pada penggunaan dan manipulasi biomasa tanaman terutama dengan mengoptimalkan penggunaan sisa panen.
g.      Sistem agroforestry yang paling sederhanapun secara biologis (struktur dan fungsi) maupun ekonomis jauh lebih kompleks dibandingkan sistem budidaya monokultur.


EKSTENSIFIKASI HUTAN

Istilah extension forestry dapat diartikan sebagai ekstensifikasi hutan, analog di sektor pertanian dengan ekstensifikasi pertanian. Anonim (2002b) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ekstensifikasi hutan adalah penanaman tanaman keras (pohon) diluar kawasan hutan contohnya pada sisi jalan raya, canal (terusan) dan di sisi jalan kereta api, sepanjang tidak mengganggu dan dilakukan di tanah yang tersisa (kosong). Melihat definisi di atas, maka dapat dipastikan bahwa ekstensifikasi hutan berada di atas lahan milik negara.

PHBM
Menurut SK Gubernur Jawa Tengah No. 24 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Sumber daya Hutan Bersama Mayarakat di Propinsi Jawa Tengah. PHBM adalah suatu system pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan bersama masyarakat dengan jiwa berbagi antara PT. PERHUTANI (Persero), masyarakat desa hutan, pihak yang berkepentingan, sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya hutn dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional.
PHBM dilakukan dengan jiwa berbagi yang meliputi berbagi dalam pemanfaatan lahan dan atau ruang, waktu, dan berbagi dalam pemanfaatan hasil dalam pengelolaan sumberdaya hutan dengan prinsip saling menguntungkan, saling memperkuat dan saling mendukung berdasarkan kepada Keadilan dan demokratis, Keterbukaan dan kebersamaan, Pembelajaran bersama dan saling memahami, Kejelasan hak dan kewjiban, Pemberdayaan ekonomi kerakyatan, kerjasama kelembagaan, perencanaan partisipatif, Kesederhanaan system prosedur, Kesesuaian pengelolaan dengan karakteristik wilayah dan keanekaragaman social budaya, dimanaPemerintah bertindak sebagai fasilitator.
Ruang lingkup kegiatan PHBM dalam kawasan hutan meliputi : Pengembangan agroforestri dengan pola bisnis. Pengamanan hutan melalui pola berbagi hak, kewajiban dan tanggung jawab. Tambang galian, Wisata, Pengembangan flora dan fauna serta pemanfaatan sumber air. Sedangkan ruang lingkup PHBM di luar Kawasan Hutan meliputi :
o   Pembinaan Mayarakat Desa Hutan ;
o   Pemberdayaan kelembagaan Kelompok Tani Hutan
o   Pemberdayaan kelembagaan desa
o   Pengembangan ekonomi kerakyatan
o   Perbaikan biofisik Desa Hutan ;
o   Pengembangan hutan rakyat
o   Bantuan sarana dan prasarana desa hutan

TUMPANG SARI

Suatu metode agrisilvikultur pada pembangunan hutan tanaman yang bersifat sementara, khususnya di hutan jati. Secara sederhana tumpangsari yaitu teknik penanaman agroforestri yang diterapkan di hutan Negara. Dalam hal ini ada suatu bentuk kerja sama pekerjaan untuk periode terbatas dimana tanaman pangan ditanam menumpang pada tanaman pohon muda. Pembangunan hutan disini melibatkan kepentingan masyarakat yaitu masyarakat diperbolehkan menanam tanaman pertanian di sela-sela tanaman pokok yang masih muda (sebelum penutupan tajuk tanaman pokok). Petani boleh mengelola tanaman pertanian selama jangka waktu 2-3 tahun tergantung kesepakatan kedua belah pihak.
Tumpangsari merupakan suatu usaha menanam beberapa jenis tanaman pada lahan dalam waktu yang sama, yang diatur sedemikian rupa dalam barisan-barisan tanaman. Penanaman dengan cara ini bisa dilakukan pada dua atau lebih jenis tanaman yang relatif seumur, misalnya jagung dan kacang tanah atau bisa juga pada beberapa jenis tanaman yang umurnya berbeda-beda. Untuk dapat melaksanakan pola tanam tumpangsari secara baik perlu diperhatikan beberapa faktor lingkungan yang mempunyai pengaruh diantaranya ketersediaan air, kesuburan tanah, sinar matahari dan hama penyakit. Penentuan jenis tanaman yang akan ditumpangsarikan dan saat penanaman sebaiknya disesuaikan dengan ketersediaan air yang ada selama pertumbuhan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari persaingan (penyerapan hara dan air) pada suatu petak lahan antar tanaman. Pada pola tanam tumpangsari sebaiknya dipilih dan dikombinasikan antara tanaman yang mempunyai perakaran yang relatif dalam dan tanaman yang mempunyai perakaran relatif dangkal.
Sistem tanam tumpangsari mempunyai banyak keuntungan yang tidak dimiliki pada pola tanam monokultur. Beberapa keuntungan pada pola tumpangsari antara lain: 1). akan terjadi peningkatan efisiensi (tenaga kerja, pemanfaatan lahan maupun penyerapan sinar matahari), 2). populasi tanaman dapat diatur sesuai yang dikehendaki, 3). dalam satu areal diperoleh produksi lebih dari satu komoditas, 4). tetap mempunyai peluang mendapatkan hasil manakala satu jenis tanaman yang diusahakan gagal, dan 5). kombinasi beberapa jenis tanaman dapat menciptakan stabilitas biologis sehingga dengan menekan serangan hama dan penyakit serta mempertahankan kelestarian sumber daya lahan dalam hal ini kesuburan tanah.

TUMPANGSARI DIPERKENALKAN OLEH BUURMAN V.  VREEDEN PADA TAHUN 1883 DI KPH PEMALANG JAWA TENGAH, SEBAGAI SISTIM PEMBUATAN TANAMAN JATI.

NB.
Perbedaan SF, AF, TS
SF  = Strategi pengelolaan hutan    AF = belum tentu SF
AF =  Teknik bercocok tanam        TS  = AF tetapi TS di hutan Negara.