ABSTRAK
Pria dan Wanita memiliki perbedaan tanggung jawab
di dalam kehidupan, keluarga, rumah tangga dan masyarakat. Keduanya memiliki
perbedaan sudut pandang untuk mengelola dan memiliki kesempatan berpartisipasi
di dalam pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumber daya alam.
Kehutanan sosial merupakan salah satu
program pemerintah yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan serta melindungi
kelestarian lingkungan. Program ini juga bertujuan untuk mempopulerkan
pengelolaan hutan serta melindungi daerah resapan air dengan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat desa hutan. Pria masih mendominasi di dalam
proyek-proyek pembangunan di bidang kehutanan. Hal ini berarti bahwa wanita
masih kurang mendapatkan manfaat dari pembangunan kehutanan.
Kata kunci : Kehutanan Sosial, Partisipasi perempuan
I. PENDAHULUAN
Pada hakekatnya manusia
diciptakan menjadi perempuan dan laki-laki. Keduanya diciptakan agar bisa
saling melengkapi guna membangun suatu kekuatan (sinergi) baru yang lebih kuat
dan bermanfaat bagi umat manusia. Namun dalam perkembangannya, dirasakan
telah terjadi dominasi oleh satu pihak terhadap pihak yang lainnya, sehingga
menimbulkan diskriminasi, marjinalisasi, subordinasi, beban ganda, ataupun
tindak kekerasan.
Jenis kelamin merupakan sifat biologis
bawaan yang tidak bisa diubah. Dimanapun ia, ciri tersebut tidak akan berubah.
Seorang dikatakan perempuan bila ia memiliki rahim, vagina dan payudara,
sedangkan dikatakan laki-laki bila ia memiliki buah zakar, penis dan sperma.
Berdasarkan sifat biologis tersebut kemudian dibangunlah asumsi, perilaku
sosial, dan pranata yang berlaku di masyarakat.
Berdasarkan Inpres terakhir disebutkan bahwa gender
merupakan konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan
perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan
budaya masyarakat. Sedangkan kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi
laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai
manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik,
ekonomi, sosial-budaya, pertahanan dan keamanan nasional dan kesamaan dalam
menikmati hasil pembangunan tersebut. Dengan definisi tersebut maka
perempuan, selain juga laki-laki, diharapkan dapat ikut serta secara aktif
berkiprah dalam pembangunan sesuai dengan kemampuannya, jadi bukan berarti
memberikan pengecualian ataupun kuota, khususnya pada perempuan. Strategi
yang harus ditempuh agar kebijakan pembangunan nasional responsif gender adalah
melalui pengarusutamaan gender. Oleh karena itu, melalui Inpres No. 9
tahun 2000, ditegaskan strategi pengarusutamaan gender sebagai salah satu
strategi pembangunan nasional.
I.1
Latar belakang konsep kehutanan sosial
Sumber daya hutan di Indonesia saat ini dalam
kondisi yang rusak. Kerusakan ini
disebabkan oleh banyak hal. Beberapa diantaranya adalah adanya over ekplorasi untuk
memenuhi kebutuhan industri kehutanan, konversi lahan hutan menjadi lahan non
hutan (misalnya perkebunan, transmigrasi, jalan raya), timber ekstraksion yang
merupakan tujuan utama dalam pengelolaan hutan yang selama ini dilakukan,
adanya illegal logging dan kebakaran hutan, penegakan hukum yang lemah,
pemberian fasilitas konsesi hutan kepada sekelompok kecil kroni, korupsi dan inefisiensi peraturan pemerintah dalam
proses pengusahaan hutan.
Beberapa hal tersebut di atas, ditambah
dengan kegiatan pengelolaan hutan yang lebih berorientasi pada pertumbuhan
ekonomi telah menyebabkan termarginalisasinya masyarakat yang hidup di sekitar hutan.
Konsep trickle down effect atau
pertumbuhan untuk pemerataan terbukti tidak mampu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Sebagai akibatnya adalah timbulnya kesenjangan kesejahteraan antara
masyarakat, khususnya mereka yang tinggal di sekitar areal hutan, dengan para
pekerja dan pengusaha di bidang kehutanan. Adanya program (proyek) pembangunan
kehutanan dengan pendekatan kehutanan sosial yang berorientasi pada pelestarian
hutan, diharapkan pada gilirannya nanti akan memberikan manfaat bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan.
Seperti halnya proyek-proyek kehutanan
lainnya, partisipasi perempuan adalah sangat kurang, padahal kalau kita lihat
sekarang pendidikan formal yang dilakukan di berbagai perguruan tinggi ternyata
rimbawati cukup banyak, bahkan >50% dari jumlah forester. Berangkat dari hal
tersebut, diperlukan upaya agar peran perempuan dalam kehutanan sosial dapat
lebih efektif dilakukan. Dimulai dengan apa yang dimaksud dengan batasan
kehutanan sosial menurut beberapa ahli, gender dan peran domestik yang
merupakan stereotipe bagi perempuan, dan terakhir bagaimana perempuan dapat berperan dalam proyek kehutanan sosial.
I.2 Tujuan
Adapun tujuan dari pembahsn gender dalam pembangunan di
bidang kehutanan yaitu untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender, melalui
kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan
permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam seluruh kebijakan di berbagai
bidang kehidupan dan pembangunan terutama di bidang kehutanan.
II. SOCIAL FORESTRY (KEHUTANAN SOSIAL)
Kehutanan sosial adalah
sesuatu ketika hutan, lahan hutan, dan produksi (yang berasal dari hutan)
dikelola oleh masyarakat lokal (yaitu masyarakat yang hidup di sekitar atau
masyarakat yang mempunyai perhatian penuh pada hutan) dimana dalam partisipasinya
tersebut mereka memperoleh keuntungan. Dalam pengertian lain yaitu suatu strategi yang difokuskan pada
pemecahan masalah penduduk lokal disamping mengelola lingkungan wilayah. Oleh
karena itu hasil utama dari kehutanan sosial tidak hanya kayu, namun hutan
dapat diarahkan untuk memproduksi beragam komoditas sesuai dengan kebutuhan
masyarakat di wilayah tersebut, termasuk kayu bakar, bahan makanan, pakan
ternak, buah-buahan, air, hewan, alam, keindahan,
perburuan dan sebagainya;
Kehutanan sosial secara mendasar ditujukan kepada peningkatan produktivitas,
pemerataan dan kelestarian dalam pembangunan sumberdaya hutan dan sumberdaya
alam melalui partisipasi aktif masyarakat. Paradigma kehutanan sosial memiliki
nilai-nilai esensial dalam pembangunan kehutanan, yaitu memposisikan rakyat/
masyarakat untuk mengelola dan turut berpartisipasi dalam mempertahankan biodiversitas.
Kegiatan kehutanan sosial mempunyai variant
(dapat dikategorikan) ke dalam 4 (empat) kelompok besar (Anonim, 2002a),
yaitu:
(1) Farm forestry;
(2) Community forestry;
(3) Extension forestry; dan
(4) Agro-forestry.
Farm forestry
Di Indonesia istilah farm forestry dikenal sebagai hutan
rakyat. Hutan rakyat adalah hutan yang tidak berada di atas lahan yang dikuasai
oleh pemerintah, jadi hutan rakyat merupakan hutan yang dimiliki oleh rakyat.
Community forestry
Di Indonesia, istilah community forestry diartikan
sebagai hutan kemasyarakatan. Konsep
hutan kemasyarakatan secara tegas menegasikan praktek-praktek pengelolaan hutan
yang berbasis negara (sentralistik, seragam, komersial, anti ekologi, dan anti
rakyat).
Extension forestry
Ekstensifikasi
hutan adalah penanaman tanaman keras (pohon) pada sisi jalan raya, canal
(terusan) dan di sisi jalan kereta api, sepanjang tidak mengganggu dan dilakukan
di tanah yang tersisa (kosong).
Agro-forestry
Sistem
ini mengkombinasikan antara produksi tanaman pertanian (termasuk tanaman pohon-pohonan)
dan tanaman hutan dan/ atau hewan secara bersamaan atau berurutan pada unit lahan
yang sama. Cara-cara yang diterapkan untuk pengelolaan lahan merupakan cara/
sistem yang sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat.
III.
PERAN PEREMPUAN DI BIDANG KEHUTANAN :
1. Equality yaitu
memperkuat akses dan peran perempuan pada sumber daya hutan.
2.
Equity yaitu meningkatkan sensivitas perempuan pada bermacam-macam peran dalam manajemen hutan, memenuhi kebutuhan
masyarakat dari sisi peran gender.
3.
Efficacy yaitu mengidentifikasi dan menggunakan pengetahuan perempuan tentang
kehutanan
4.
Empowerment yaitu melibatkan perempuan secara aktif dalam pengembangan
perhutanan sosial.
Kembali pada bagian awal, pembedaan
antara laki-laki dan perempuan dalam peranperan, penguasaan dan akses terhadap
sumber daya alam, hak dan posisi, ternyata mengakibatkan ketidakadilan gender. Lebih lanjut dinyatakan ada lima
bentuk ketidak adilan gender dalam hubungannya dengan sumberdaya alam, yaitu:
(1) Marjinalisasi (peminggiran) ekonomi, salah satu
yang terlihat nyata adalah lemahnya kesempatan perempuan terhadap sumber-sumber
ekonomi seperti tanah, kredit dan pasar;
(2) Subordinasi (penomorduaan), subordinasi
perempuan ini berkaitan erat dengan masalah penguasaan terhadap sumber daya
alam. Sejarah membuktikan, pemilik, atau penguasa sumber daya alam cenderung
memiliki kekuasaan lebih besar dan membawahi serta berhak memerintah
kelompok-kelompok tidak bermilik, termasuk perempuan. Bentuk lain dari
subordinasi perempuan juga terdapat pada hak waris. Banyak budaya tidak
memberikan hak waris apapun pada perempuan karena perempuan dianggap akan masuk
ke dalam keluarga suaminya ketika menikah;
(3) Beban kerja berlebih, pada umumnya perempuan
memiliki tiga peran (triple role) yaitu produktif, reproduktif dan
memelihara (anak) yang lebih dominan. Yang dapat dilihat langsung adalah jam
tidur perempuan lebih pendek dibanding lakilaki, waktu istirahat hampir tidak
ada. Akibatnya perempuan tidak memiliki waktu untuk membicarakan hal-hal diluar
rutinitasnya seperti membaca koran, mendengarkan informasi, atau hadir dalam
pertemuan-pertemuan masyarakat;
(4) Cap-cap negatif (stereotype), maksudnya
adalah perempuan sering digambarkan pada bentuk-bentuk tertentu yang belum
tentu benar, seperti emosional, lemah, tidak mampu memimpin, tidak rasional dan
lain-lain.
(5) Kekerasan, kekerasan berbasis gender didefinisikan
sebagai kekerasan terhadap perempuan. Pada konflik sumber daya alam kekerasan terhadap
perempuan seringkali meningkat baik itu yang dilakukan oleh aparat (militer
atau sipil) serta pihak-pihak investor maupun juga terjadi di ruang-ruang
keluarga, oleh suami, tetangga atau saudara.
IV.
KESIMPULAN
Kehutanan sosial dengan berbagai variant
penyelenggaraannya akan dapat
menjadi program unggulan kehutanan karena akan membawa implikasi tumbuhnya
sikap tanggungjawab masyarakat disamping masyarakat juga dapat memperoleh
keuntungan dan manfaat langsung dari keterlibatan dalam pengelolaan hutan.
Dalam kehutanan sosial, kemungkinan pengikutsertaan perempuan secara aktif adalah
terbuka lebar. Perempuan dapat diikutsertakan tidak hanya pada saat pelaksanaan
proyek tetapi dapat pula diikutsertakan sejak awal perencanaan proyek dibuat
dan termasuk kontrol terhadap proyek kehutanan sosial.